Refleksi Live In
Selama Live In saya tinggal bersama sebuah keluarga yang sederhana yang suaminya sudah meninggal. Di keluarga tersebut hanya tinggal ibu Ngatini bersama dengan anak terakhirnya yang bernama Slamet dan ibunya yang bernama simbah Jumirah. Keluarga ini tinggal di kedungwangan. Dalam keluarga itu hanya simbah Jumirah yang beragama katolik. Ibu Ngatini dan Slamet beragama Muslim. Selama beberapa hari disana saya merasakan betapa sulitnya keluarga ibu Ngatini untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Setiap hari beliau harus berjualan nangka dipasar yang masih kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Apabila sedang musim harga nagka Rp 5000,-/kg. Sedangkan pada saat tidak musim, harganya Rp 25.000,- /kg. pekerjaan sambilan lain adalah bersawah, setiap satu minggu sekali. Sedangkan Slamet bekerja di Ungaran dan pulang 1 minggu sekali.
Pada awal keberangkatan saya menuju desa kedungwangan, perasaan takut, cemas, kawatir, penasaran dan senang semua campur aduk jadi satu. Sesampainya di desa saya melihat keadaan desa sungguh asri, dan warganya sangat ramah. Tiba waktunya semua menuju rumah Live in masing-masing. Lega, tapi kawatir dan canggung muncul saat saya menginjakkan kaki pertama kali dirumah ibu Ngatini. Sampai disana saya mencoba mengikuti kegiatan harian dari keluarga tersebut. Akhirnya saya memberanikan diri bertanya letak dari kamar mandi, dan seperti yang saya takutkan ternyata tidak ada kamar mandi di rumah itu. Ibu Ngatini lalu menyuruh saya mandi di rumah saudaranya yang tidak jauh dari rumah beliau, yang tidak lain adalah rumah dari keluarga yang ditempati oleh Gemong. Namun semua itu akhirnya menyadarkan saya untuk lebih bersyukur. Didalam kehidupan saya tidak hanya selalu melihat orang-orang diatas saya, tetapi juga orang-orang dibawah saya.
Malampun tiba, waktunya saya tidur. Malam pertama saya belum bisa tidur karena mungkin belum terbiasa dengan situasi dan kondisi yang ada. Pagi hari saya bangun pukul 4.00. Namun ternyata belum ada anggota keluarga yang bangun, saya merasa sakit diseluruh badan. Namun saya bersyukur saya masih bisa tidur disebuah kasur, daripada harus tidur dipinggir jalan. Hari kedua saya lalui dengan penuh semangat, dan berharap semoga hari ini ada kegiatan yang tidak membuat saya bosan. Tapi ternyata saat saya ingin ikut ibu ke pasar, saya dilarang oleh beliau karena letak pasar yang jauh dan harus menggunakan sepeda motor, dan hanya ada satu sepeda motor milik putra ibu Ngatini. Akhirnya saya membantu simbah memasak didapur dan saya mendapatkan pengalaman baru yaitu memasak dengan tungku. Walaupun menghidupkan tungku saja saya tidak bisa, namun disitu saya akhirnya dapat lebih akrab dengan simbah sambil belajar menghidupkan api di tungku.
Malam hari hujan lebat, rumah ibu Ngatini bocor dan kami harus memasak untuk makan malam. Walaupun saya merasa sedikit tidak nyaman karena bocor dan lantai tanah yang menjadi becek. Namun disitu saya menyadari bahwa begitu beruntungnya saya, walaupun rumah saya sederhana, namun yang penting tidak bocor dan nyaman ditempati. Setelah makan malam dan mengobrol. Pukul 9.30 saya tidur, saya masuk kamar dan ternyata kamar saya juga bocor. Malam itu saya tidak bisa tidur lagi karena badan saya terkena air hujan yang sangat dingin.
Hari ketiga di Kedungwangan saya lalui dengan berbagai pngalaman dan pelajaran baru. Walaupun ibu tidak ke sawah minggu ini, saya dan teman-teman pergi kesawah. Ternyata jalan menuju sawah sangat licin dan menanjak. Setelah melalui jalan yang berat saya dan teman-teman sampai di sawa. Sawah terletak diatas desa. Jadi pemandangan dari sawah sangat indah. Rasanya semua rasa lelah, terbayar dengan pemandangan yang ada. Sayangnya diantara kelompok kami tidak ada yang membawa kamera, jadi momen ini tidak bisa diabadikan. Setelah puas berkeliling, kami memutuskan untuk pulang. Namun dijalan kami melihat ibu-ibu sedang menanam padi. Perasaan penasaran campur pengen mencoba membuat kami memmberanikan diri meminta ijin untuk belajar menanam padi. Setelah puas mencoba kami pulang dengan kaki berlumpur, dijalan saya hampir jatuh karena kaki dan jalan yang licin. Namun sungguh, ini adalah suatu pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan. Dijalan kami berhenti disungai untuk mencuci kaki, sandal dan baju. Pengalaman lain yang saya dapatkan, mencuci dan bermain air sampai basah di sungai, seru!!!!!!!!!
Dimalam terakhir ini, saya bisa tidur karena mungkin terlalu lelah dengan kegiatan seharian. Paginya saya mulai kegiatan saya seperti biasa. Setelah selesai membantu, saya mandi lalu membereskan semua bawaan saya. Dan jam 12 siang saya berkumpul di rumah keluarga Gemong. Menunggu hampir 4 jam di sana membuat saya dan teman-teman bosan. Namun dengan itu, saya akhirnya belajar untuk bersabar dalam menunggu sesuatu.
datanglah kembali di dusun kedungwangan, tempat kelahiran saya itu. anda akan temukan lebih banyak 'keajaiban' Tuhan disana.
BalasHapus